Tuesday, March 15, 2016

Pendakian Gunung Merbabu via Suwanting


Kemegahan Merapi dari Sabana 1 via Selo

Gunung Merbabu memiliki ketinggian 3.142 mdpl dan bersebelahan dengan Gunung Merapi, puncak sejatinya bernama Kenteng song da nada beberapa puncak lagi puncak suwanting, Puncak Trianggulasi, puncak syarif,   Gunung Merbabu sendiri berada di empat wilayah Kabupaten, yakni  di bagian barat masuk kedalam kabupaten Magelang, di bagian timurnya ada di boyolali, di bagian selatan ada di salatiga dan di sebelah utara gunung ini masuk ke wilayah Semarang Provisnsi Jawa Tengah.
Nama Merbabu Sendiri berasal dari kata “Meru dan “Babu” Meru sendiri mempunyai arti gunung dan Babu memiliki arti Wanita. Gunung ini memiliki 5 buah kawah, yakni kawah condrodimuko, kawah kombang, kawah Kendang, Kawah Rebab, dan Kawah Sambernyowo.
Tak Jauh Berbeda dengan Gunung-Gunung lain Gunung Merbabu juga tak lepas dari Mitos yang beredar di masyarakat kaki gunung nya, bahwa dahulu kala ada kerajaan Jawa yang sangat besar terkubur di dalam Gunung Merapi dan Merbabu yang berkaitan dengan Mataram Kuno. Di kawasan ini juga di percaya juga terdapat pasar setan yang menjadi pusat jual beli para mahluk halus.
Gunung Merbabu sendiri termasuk dalam Gunung yang memiliki lumayan banyak jalur Pendakian, ada sekitar 6 jalur pendakian, Jalur Pendakian Selo, Jalur Pendakian Wekas, Jalur pendakian Kopeng, Cunthel, Thekelan, dan Jalur pendakian yang baru di buka kembali awal tahun lalu yaitu Suwanting. Pada setiap jalurnya pun memiliki tingkat kesulitan yang berbeda-beda namun sama-sama memiliki pemandangan yang luar biasa indah.


Sunrise Sabana 1 via Selo

Pada pendakian kami Agustus lalu di Gunung ini, kami memutuskan untuk memilih Suwanting sebagai pintu awal perjalanan kami menapaki keindahan-keindahan dan kemegahan Gunung Merbabu ini, Jalur Pendakian Suwanting sendiri berada di dusun Suwanting desa Banyuroto kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang.
Menurut informasi yang kita dapatkan dari masyarakat setempat, jalur Suwanting adalah jalur yang pernah di buka pada tahun 1990 dan 1998, namun setelah tahun 1998 jalur ini di tutup untuk pendakian dan baru awal tahun 2015 lalu jalur ini kembali di buka.
Untuk Akses ke Dusun Suwanting sendiri kita memutuskan untuk minta jemput langsung dengan pengurus basecamp tersebut, waktu itu kita di jemput langsung dari stasiun tugu Jogjakarta dan dikenakan biaya 400 ribu.
Pembaca akan di suguhi keindahan desa dan keramahan warganya yang tidak di dapat di jalur-jalur lainnya, saya sempat heran dengan keadaan itu awalnya, kita di sambut dengan sangat ramah seperti anak-anak mereka sendiri yang baru pulang dari rantau, setelah memutuskan untuk beristirahat sejenak di salah satu rumah warga yang di jadikan basecamp bagi para pendaki kami melanjutkan perjalanan di pagi harinya. Sekitar 15-20 menit perjalanan sampai kita di POS 1, Di jalur ini tersaji pemandangan yang sangat indah, di Pos 1 nya kita langsung disuguhi Hutan pinus yang rindang dan sangat eksotis, serta pemandangan merapi yang mengintip dari kejauhan, dari POS 1 menuju POS 2 memakan waktu sekitar 1,5 jam – 2 jam perjalanan, trek disini pun mulai menanjak dari sebelumnya, sebelum kita sampai di POS 3 kita akan melewati POS bayangan Mata Air, satu-satunya sumber mata air yang ada di jalur Suwanting, dari POS 2 menuju POS 3 memakan waktu kurang lebih 2 Jam perjalanan. Di POS 3 sendiri menjadi tempat faforit bagi para pendaki untuk beristirahat dan mendirikan tenda untuk bermalam sebelum melanjutkan untuk Summit Attack di esok harinya, dari POS 3 menuju Puncak Kenteng Songo dapat di tempuh sekitar 2 Jam Perjalanan, dan melewati Sabana yang luas dan keindahan yang tak dapat dinikmati orang banyak,..
Total Pendakian dari Suwanting menuju Puncak kenteng songo memakan waktu sekitar 7-8 jam perjalanan, dan untuk turun kami memutuskan melewati jalur selo dan kembali menginap 1 malam lagi di sabana 1 nya sebagai obat setelah pendakian 2 tahun lalu via selo gagal karena badai..


Info

Buat yang butuh transportasi atau porter langsung bisa hubungi aja mas Ambon No. saya lampirkan di bawah.

Mas Ambon +62 878 3430 6869 (Whatssapp)


Galery

Dusun Suwanting

POS Mata Air via Suwanting

POS 1 via Suwanting

POS 1 via Suwanting

Jalur Puncak Trianggulasi

Edelweis di Puncak Kenteng Songo

Puncal Trianggulasi

Sabana 2 via Selo

POS 3 via Suwanting

Sabana 3 via Suwanting

Puncak Suwanting


POS 1 via Suwanting

Stasiun Tugu Jogja

Puncak Kenteng Songo

Sabana 1 via Selo

Pintu Masuk Merbabu via Selo

















ISTRI BIJAKSANA


Ada seorang pria, tidak lolos ujian masuk universitas, orang tuanya pun menikahkan ia dengan seorang wanita.
Setelah menikah, ia mengajar di sekolah dasar. Karena tidak punya pengalaman, maka belum satu minggu mengajar sudah dikeluarkan.
Setelah pulang ke rumah, sang istri menghapuskan air mata nya, menghiburnya dengan berkata:

"Banyak ilmu di dalam otak, ada orang yang bisa menuangkannya, ada orang yang tidak bisa menuangkannya. Tidak perlu bersedih karena hal ini. mungkin ada pekerjaan yang lebih cocok untukmu sedang menantimu."

Kemudian, ia pergi bekerja keluar, juga dipecat oleh bosnya, karena gerakannya yang lambat.
Saat itu sang istri berkata padanya, kegesitan tangan-kaki setiap orang berbeda, orang lain sudah bekerja beberapa tahun lamanya, dan kamu hanya belajar di sekolah, bagaimana bisa cepat?
Kemudian ia bekerja lagi di banyak pekerjaan lain, namun tidak ada satu pun, semuanya gagal di tengah jalan.

Namun, setiap kali ia pulang dengan patah semangat, sang istri selalu menghiburnya, tidak pernah mengeluh.
Ketika sudah berumur 30 tahun-an, ia mulai dapat berkat sedikit melalui bakat berbahasanya, menjadi pembimbing di sekolah luar biasa tuna rungu wicara.
Kemudian, ia membuka sekolah siswa cacat, dan akhirnya ia bisa membuka banyak cabang toko yang menjual alat-alat bantu orang cacat di berbagai kota.
Ia sudah menjadi bos yang memiliki harta kekayaan berlimpah.

Suatu hari, ia yang sekarang sudah sukses besar, bertanya kepada sang istri, bahwa ketika dirinya sendiri saja sudah merasakan masa depan yang suram, mengapa engkau tetap begitu percaya kepada ku?
Ternyata jawaban sang istri sangat polos dan sederhana.

Sang istri menjawab: sebidang tanah, tidak cocok untuk menanam gandum, bisa dicoba menanam kacang, jika kacang pun tidak bisa tumbuh dengan baik, bisa ditanam buah-buahan; jika buah-buahan pun tidak bisa tumbuh, semaikan bibit gandum hitam pasti bisa berbunga. karena sebidang tanah, pasti ada bibit yang cocok untuknya, dan pasti bisa menghasilkan panen dari nya.
Mendengar penjelasan sang istri, ia pun terharu mengeluarkan air mata. Keyakinan kuat, katabahan serta kasih sayang sang istri, bagaikan sebutir bibit yang unggul;
Semua prestasi pada dirinya, semua adalah keajaiban berkat bibit unggul yang kukuh sehingga tumbuh dan berkembang menjadi kenyataan.

Di dunia ini tidak ada seorang pun adalah sampah. hanya saja tidak ditempatkan di posisi yang tepat.
Delapan kalimat di bawah ini, semuanya adalah intisari kehidupan:

1. Orang yang tidak tahu menghargai sesuatu, biarpun diberi gunung emas pun tidak akan bisa merasakan kebahagiaan.
2. Orang yang tidak bisa toleransi, seberapa banyak teman pun, akhirnya semua akan meninggalkannya.
3. Orang yang tidak tahu bersyukur, seberapa pintar pun, tidak akan sukses.
4. Orang yang tidak bisa bertindak nyata, seberapa cerdas pun tidak akan tercapai cita-cita nya.
5. Orang yang tidak bisa bekerjasama dengan orang lain, seberapa giat bekerja pun tidak akan mendapatkan hasil yang optimal.
6. Orang yang tidak bisa menabung, terus mendapatkan rejeki pun tidak akan bisa menjadi kaya.
7. Orang yang tidak bisa merasa puas, seberapa kaya pun tidak akan bisa bahagia.
8. Orang yang tidak bisa menjaga kesehatan, terus melakukan pengobatan pun tidak akan berusia panjang.

Monday, March 14, 2016

Kumpulan Puisi Soe Hok Gie


Soe Hok Gie (lahir di Jakarta, 17 Desember 1942 – meninggal di Gunung Semeru, 16 Desember 1969 pada umur 26 tahun) adalah seorang aktivis Indonesia Tionghoa yang menentang kediktatoran berturut-turut dari Presiden Soekarno dan Soeharto. Ia adalah mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969 dia juga dikenal sebagai pendiri gerakan pencinta alam di Universitas Indonesia yang sekarang.

Soe adalah seorang etnis Tionghoa Katolik Roma. Leluhur Soe Hok Gie sendiri adalah berasal dari provinsi Hainan, Republik Rakyat Tiongkok. Ayahnya bernama Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Ia keempat dari lima bersaudara di keluarganya; kakaknya Arief Budiman, seorang sosiolog dan dosen di Universitas Kristen Satya Wacana, juga cukup kritis dan vokal dalam politik Indonesia.

Soe juga banyak sekali melahirkan kata-kata indah dalam puisi-puisinya berikut adalah puisi indah dari Soe Hok Gie..


Sebuah Tanya

Akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Apakah kau masih selembut dahulu
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
Sambil membenarkan letak leher kemejaku
(Kabut tipis pun turun pelan pelan
di Lembah Kasih, Lembah Mandalawangi
Kau dan aku tegak berdiri
Melihat hutan-hutan yang menjadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
Ketika kudekap
Kau dekaplah lebih mesra, Lebih dekat
(lampu-lampu berkelipan di Jakarta yang sepi
Kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya
Kau dan aku berbicara
Tanpa kata, tanpa suara
Ketika malam yang basah menyelimuti Jakarta kita)
Apakah kau masih akan berkata
Kudengar derap jantungmu
Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam cinta
(hari pun menjadi malam
Kulihat semuanya menjadi muram
Wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
Dalam bahasa yang kita tidak mengerti
Seperti kabut pagi itu)
Manisku, aku akan jalan terus
Membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
Bersama hidup yang begitu biru
Cahaya bulan menusukku
Dengan ribuan pertanyaan
Yang takkan pernah kutahu dimana jawaban itu
Bagai letusan berapi
Membangunkanku dari mimpi
Sudah waktunya berdiri
Mencari jawaban kegelisahan hati
From Soe Hok Gie With Love
Hari ini aku lihat kembali
wajah-wajah halus yang keras
yang berbicara tentang kemerdekaan
dan demokrasi
dan bercita-cita
menggulingkan tiran
aku mengenali mereka
yang tanpa tentara
mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi
kawan-kawan
kuberikan padamu cintaku
dan maukah kau berjabat tangan
selalu dalam hidup ini??

(soe hok gie à sinar harapan, 18 agustus 1973)



CINTA


Ada orang yang menghabiskan waktunya untuk berziarah ke Mekkah
 Ada orang yang menghabiskan waktunya untuk berjudi di Miraza
 Tapi aku ingin habiskan waktuku disisimu, sayangku
 Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu,
 Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mandalawangi
Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang
 Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
 Tapi aku ingin mati disisimu, manisku
 Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
 Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tau
Mari sini, sayangku
 Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik, dan simpati padaku
 Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung
Kita tak pernah menanam apa-apa
 Kita tak pernah kehilangan apa-apa
( Selasa, 11 November 1969 )
Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan
Yang kedua dilahirkan tapi mati muda
Dan yang tersial adalah berumur tua
Berbahagialah mereka yang mati muda
Mahluk kecil kembalilah dari tiada ke tiada
Berbahagialah dalam ketiadaanmu



CITA-CITA

Saya mimpi tentang sebuah dunia
 Dimana ulama, buruh, dan pemuda,
 Bangkit dan berkata, “Stop semua kemunafikan! Semua pembunuhan atas nama apapun!”
 Dan para politisi di PBB sibuk mengatur pengangkutan gandum, beras, dan susu
 Buat anak-anak yang lapar di tiga benua
 Dan lupa akan diplomasi
 Tak ada lagi rasa benci pada siapapun, agama apapun, ras dan bangsa apapun
 Dan melupakan perang dan kebencian
 Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik
Tuhan, saya mimpi tentang dunia tadi
 Yang tak pernah akan datang

( Salem, Selasa, 29 Oktober 1968 )


 Kepada pejuang-pejuang lama

Biarlah mereka yang ingin dapat mobil, mendapatnya.
Biarlah mereka yang ingin dapat rumah, mengambilnya.
Dan datanglah kau manusia-manusia
Yang dahulu menolak, karena takut ataupun ragu.
Dan kita, para pejuang lama
Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai
Yang berani menempuh gelombang (padahal pelaut-pelaut lain takut)
(kau tentu masih ingat suara-suara dibelakang…”mereka gila”)
Hai, kawan-kawan pejuang lama
Angkat beban-beban tua, sandal-sandal kita, sepeda-sepeda kita
Buku-buku kita ataupun sisa-sisa makanan kita
Dan tinggalkan kenangan-kenangan dan kejujuran kita
Mungkin kita ragu sebentar (ya, kita yang dahulu membina
Kapal tua ini
Di tengah gelombang, ya kita betah dan cinta padanya)
Tempat kita, petualang-petualang masa depan akan
Pemberontak-pemberontak rakyat
Di sana…
Di tengah rakyat, membina kapal-kapal baru untuk tempuh
Gelombang baru.

Ayo, mari kita tinggalkan kapal ini
Biarlah mereka yang ingin pangkat menjabatnya
Biarlah mereka yang ingin mobil mendapatnya
Biarlah mereka yang ingin rumah mengambilnya.
Ayo,,
Laut masih luas, dan bagi pemberontak-pemberontak
Tak ada tempat di kapal ini
 Tentang kemerdekaan
 Kita semua adalah orang yang berjalan dalam barisan
Yang tak pernah berakhir,
Kebetulan kau baris di muka dan aku di tengah
Dan adik-adikku di belakang
Tapi satu tugas kita semua,
Menanamkan benih-benih kejantanan yang telah kau rintis….
Kita semua adalah alat dari arus sejarah yang besar
Kita adalah alat dari derap kemajuan samua;
Dan dalam berjuang kemerdekaan begitu mesra berdegup
Seperti juga perjalanan di sisi penjara
Kemerdekaan bukanlah soal orang-orang yang iseng dan pembosan
Kemerdekaan adalah keberanian untuk berjuang
Dalam derapnya, dalam desasnya, dalam raungnya kita
Adalah manusia merdeka
Dalam matinya kita smua adalah
Manusia terbebas.


Mandalawangi-Pangrango

Sendja ini, ketika matahari turun
Ke dalam djurang-djurang mu
Aku datang kembali
Ke dalam ribaanmu, di dalam sepimu
Dan dalam dinginnya.
Walaupun setiap orang berbitjara
Tentang manfaat dan guna
Aku bicara terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku.
Aku tjinta padamu, Pangrango jang dingin dan sepi
Sungaimu adalah njanjian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Tjintamu dan tjintaku adalah kebisuan semesta.
Malam itu ketika dingin dan kebisuan
Menjelimuti mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bitjara padaku tentang kehampaan semua.
“hidup adalah soal keberanian,
Menghadapi jang tanda tanja
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
Terimalah, dan hadapilah.
Dan antara ransel-ransel kosong
Dan api unggun jang membara
Aku terima itu semua
Melampaui batas-batas hutanmu,
Melampaui batas-batas djurangmu
Aku tjinta padamu Pangrango
Karena aku tjinta pada keberanian hidup



Hidup

Terasa pendeknya hidup memandang sejarah
Tapi terasa panjangnya karena derita
Maut, tempat penghentian terakhir
Nikmat datangnya dan selalu diberi salam
“Merasa seneng jadi landa (belanda)
Kami adalah landa berpangkat kopral
Ini dibawah asuhan sapiteng, kapiten kok sapiteng
Ini saya mengatur sodat-sodat tidak pokro kabeh,
Semua walanda purik kabeh, tinggal aku thok,
Ini mana kapten kok tidak datang, ini kapten lali po piye?”



“Merasa seneng menjadi aktivis
Kami adalah aktivis berpangkat kopral
Ini dibawah asuhan aktivis reformasi lanjutkan,
Berkelanjutan kok lanjutkan
Ini saya mengatur saudara-saudara aktivis yang sudah
Muak dan bosan dengan ideology dan kemiskinannya
Semua aktivis melacur, tinggal aku aktivis yang belum di sunat
Ini mana kaptennya aktivis kok belum datang, lupa atau gimana?”


“Akhir-akhir ini saya selalu berpikir,
Apa gunanya semua yang saya lakukan ini.
Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang…
Makin lama semakin banyak musuh saya dan
Makin sedikit orang yang mengerti saya.
Kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan.
Jadi, apa sebenarnya yang saya lakukan…
Kadang-kadang saya merasa sungguh kesepian.”

(Soe Hok Gie)