Baru
saja saat sedang bekerja tak sengaja saya membuka tautan mengenai tulisan dari
blog pribadi seorang penulis. Spektrum, begitu judul yang terbaca dibawah
tulisan nama penulisnya, Avianti Armand. Sayapun mulai membaca kalimat demi
kalimat yang kemudian terurai menjadi baying baying visual dalam benak saya.
Perlahan saya mulai paham kenapa viewersnya mencapai ribuan.
Dalam
spektrum, Avianti Armand berkontemplasi mengenai luasan bentang spektrum
(jangkauan, cakupan, lingkup) dari praksis (bidang kehidupan) manusia, ditilik
dari sepenggal dinamika tentang seorang arsitek yang bekejaran dengan waktu
dalam menyelesaikan desain pembangunan hunian sederhana untuk 5000 KK yang
sedang terancam digusur. Selain itu, adapula seorang kontraktor yang sedang
melaksanakan satu desain rumah milik seseorang yang lain di kawasan kuningan
dengan luas bangunan 7000 meter.
Dua
pilihan cakupan dari praksis yang ditawarkan dalam tulisan tersebut saya maknai
dengan sangat dalam. Dari sudut 5000 kk, hingga tanah seluas 7000 meter untuk
satu rumah. Dari kamar tidur seluas lapangan basket, hingga orang-orang yang
berumah gerobak. Dan tentang kegamangan kita saat klien, secara illegal,
menginginkan kita membuatkan sumur ertesis, padahal baying-bayang kaum miskin
yang kesulitan mendapat air bersih berlarian di benak kita.
Hal
hal perih jika dipikirkan dengan akal sehat.
Membaca
tulisan tersebut membuat saya tiba-tiba ingin menawarkan satu lagi pilihan
cakupan praksis yang lain. Sebutlah ini sebagai pilihan yang ke tiga. Yaitu,
tentang para buruh bangunan yang bekerja keras, membanting tulang dengan segala
bentuk pekerjaan kasar, berhadapan dengan terik matahari, berjauhan dengan
istri dan anak yang kebanyakan memilih bertahan menunggu dikampung, untuk
sejumlah uang agar anak-anak mereka dapat mengenyam pendidikan sekolah dan
memiliki modal usaha. Mereka yang berjuang mencukupi kebutuhan hidup dengan
benar-benar bekerja. Mereka menjadi ujung tombak berdirinya suatu bangunan.
Disuatu
waktu yang berbeda, saya harus mengelus dada dalam perasaan yang karut marut
saat menyaksikan berita-berita penggusuran yang dilakukan oleh developer. Walau
sungguhnya penggusuran tersebut tidak juga lantas melemparkan para pemukimnya
ke jalanan, sebab ada solusi lain yang telah disediakan. Yaitu dibangunkan sebentuk
rumah susun atau yang lainnya untuk di huni. Tetapi tetap saja, pemandangan
seperti itu adalah pemandangan yang memprihatinkan. Pada akhirnya saya
berkesimpulan, mungkin beginilah cara sebentuk persepektif melingkari kehidupan
manusia. Bagi saya, hidup adalah tentang kemampuan memahami kehidupan orang
lain. Maka, sebaiknya mungkin kita harus memperbanyak pilihan cara pandang,
agar tidak terkukung dalam penghakiman-penghakiman atas pilihan cara hidup
oranglain. Setelah itu yang bisa kita lakukan dengan kehidupan yang keras ini
adalah mempertajam suara hati nurani.
@Mirra Febriyanti
No comments:
Post a Comment